PendidikanJawa Timur

Polemik SMAN 1 Karangan: Klarifikasi Kepsek Dinilai Kontradiktif, Wali Murid Bingung dan Resah

Bagikan :

TRENGGALEK,potretnusantara.web.id – Polemik dugaan pungutan liar di SMAN 1 Karangan, Kabupaten Trenggalek, kian memanas. Alih-alih meredakan kegelisahan, klarifikasi Kepala Sekolah justru memunculkan kontradiksi yang membingungkan para wali murid.

Isu bermula dari keluhan sejumlah wali murid yang merasa terbebani dengan “sumbangan” sebesar Rp150 ribu per bulan serta Rp1 juta untuk pembangunan GOR. Mereka menyebut pembayaran diarahkan melalui rekening komite sekolah, dengan narasi “kesepakatan bersama”.

Namun, Kepala SMAN 1 Karangan, Agus Joko Santoso, S.Pd, justru membantah adanya pungutan. Saat dikonfirmasi media pada Senin (22/9/2025), Joko menyebut angka-angka yang beredar hanyalah kabar simpang siur.

“Itu hanya sliweran dari beberapa wali murid. Kami tidak pernah menetapkan nominal. Ini murni bentuk gotong royong. Kami hanya memfasilitasi dengan nomor rekening, dan tidak ada unsur kewajiban,” ujar Joko”

Joko menegaskan bahwa tidak ada penetapan jumlah sumbangan dan tidak ada unsur paksaan. “Kalau ada yang mau menyumbang, silakan. Kalau tidak pun tidak apa-apa,” tambahnya.

Fakta di Lapangan Berbeda: “Diminta Bayar, Nominalnya Jelas

Pernyataan kepala sekolah tersebut justru bertolak belakang dengan pengakuan para wali murid yang sebelumnya angkat bicara. Mereka menyebut mendapatkan permintaan pembayaran dengan nominal jelas: Rp150 ribu per bulan dan Rp1 juta untuk pembangunan GOR.

Sejumlah wali murid bahkan mengaku sempat mempertanyakan dasar kebijakan tersebut, namun tidak mendapat jawaban yang memuaskan. “Kami diarahkan bayar ke rekening komite, tapi disebut sukarela. Kalau sukarela, kenapa ada angka dan jadwalnya?” ujar salah satu wali murid yang enggan disebut namanya.

Aktivis: “Klarifikasi Sekolah Membingungkan Publik”

Sikap kepala sekolah yang menyebut adanya “nilai gotong royong” dalam bentuk sumbangan, namun menolak disebut pungutan, menuai kritik dari pegiat pendidikan lokal.

“Kalau memang tidak ada nominal resmi, kenapa angka Rp150 ribu dan Rp1 juta bisa muncul dan seragam di banyak pengakuan wali murid? Ini bukan lagi soal sliweran, tapi pola,” tegas seorang aktivis pendidikan di Trenggalek”

Ia menambahkan, prinsip gotong royong dan sukarela seharusnya tidak mengandung nominal, tidak ada batas waktu, dan tidak ada arahan pembayaran ke rekening tertentu. “Jika nominal dan instruksi sudah ada, maka itu masuk kategori pungutan, bukan sumbangan.”

Siapa yang Benar? – Wali Murid Terjepit di Tengah Klarifikasi yang Bertolak Belakang

Kontradiksi antara pengakuan pihak sekolah dan kesaksian wali murid membuat situasi kian buram. Di satu sisi, sekolah menolak tudingan pungutan dan mengklaim hanya menfasilitasi semangat gotong royong. Di sisi lain, wali murid merasa tertekan untuk membayar.

Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa pungutan dilakukan secara sistematis, namun dibungkus dalam istilah “sumbangan sukarela”.

Desakan Audit dan Transparansi Meningkat

Muncul desakan agar dilakukan audit independen terhadap mekanisme penggalangan dana di SMAN 1 Karangan. Sejumlah elemen masyarakat mendorong transparansi dalam pengelolaan dana yang masuk melalui komite sekolah.

“Kita tidak anti gotong royong. Tapi jangan sampai istilah itu dijadikan tameng untuk pungutan yang menyalahi aturan,” tegas aktivis tersebut”

Kasus ini kini menjadi sorotan publik Trenggalek dan membuka kembali wacana perlunya pengawasan ketat terhadap praktik pengumpulan dana oleh sekolah-sekolah negeri.

Bersambung…..

( Dadang E )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *