Jawa Timur

Penangkapan Tiga Wartawan di Trenggalek Picu Kontroversi, Polisi Dinilai Langgar UU Pers

Bagikan :

Trenggalek, potret nusantara.web.id – Penangkapan tiga wartawan oleh Polres Trenggalek dengan tuduhan pemerasan menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Ketua Aliansi Jurnalis Tulungagung (AJT), Catur Santoso, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam pernyataannya, Catur menegaskan bahwa penangkapan tersebut bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers dan menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pers tidak dilakukan melalui jalur pidana, kecuali menyangkut delik pers sebagaimana diatur dalam Pasal 18.

“Proses peliputan yang menjadi dasar tuduhan terhadap wartawan tersebut bukanlah hasil pemberitaan. Ini jelas melanggar Pasal 5 UU Pers yang memberikan perlindungan hukum bagi wartawan dalam mencari informasi,” ujar Catur, Kamis (15/5/2025).

Catur juga menyoroti bahwa Polres Trenggalek diduga mengabaikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Penanganan Perkara Jurnalis, yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers sebelum melakukan tindakan hukum terhadap jurnalis.

“Jika koordinasi tersebut tidak dilakukan, maka tindakan penangkapan ini bisa dianggap melanggar hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Atas dasar itu, AJT mendesak Kapolri untuk mengevaluasi proses penyidikan yang dilakukan oleh Polres Trenggalek sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Selain itu, Catur meminta Propam Polri segera turun tangan untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan wewenang.

Tak hanya itu, Komnas HAM juga diminta untuk memantau kasus ini berdasarkan kewenangannya dalam Pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Kebebasan pers bukanlah hadiah dari penguasa, melainkan hak konstitusional setiap warga negara yang dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945,” tutup Catur.

Kasus ini pun menjadi perhatian serius komunitas pers di Indonesia, yang khawatir insiden serupa dapat menimbulkan efek jera (chilling effect) terhadap kerja jurnalistik dan kemerdekaan pers secara umum. AJT berharap kasus ini dapat diselesaikan secara transparan dan adil, tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi dan hak kebebasan berekspresi. (Evan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *